19.50

Remaslah Tanganku dan Kukatakan Aku Sayang Kamu

Ingatkah ketika masih kecil kamu jatuh dan terluka?
Ingatkah apa yang dilakukan ibumu untuk meringankan
rasa sakit? Ibuku, Grace Rose, selalu menggendongku,
membawaku ke tempat tidurnya, mendudukkan diriku, lalu
mencium “aduh”-ku. Lalu ia duduk di tempat tidur di
sampingku, meraih tanganku dan berkata, “Kalau sakit,
remas saja tangan Ibu. Nanti akan kukatakan Aku sayang
kamu.” Sering aku meremas tangannya, dan setiap
kali, tak pernah luput, aku mendengar kata-kata,
“Mary, Ibu sayang kamu.”
Kadang-kadang aku pura-pura sakit hanya supaya aku
memperoleh ritual itu darinya. Waktu aku lebih besar,
ritual itu berubah, tapi ia selalu menemukan cara
untuk meringankan rasa sakit dan meningkatkan rasa
senang yang kurasakan dalam berbagai bagian hidupku.
Pada hari-hari sulit di SMU, ia akan menawarkan
sebatang cokelat almond Hershey kesukaannya saat aku
pulang. Semasa usiaku 20-an, Ibu sering menelepon
untuk menawarkan piknik makan siang spontan di Taman
Eastbrook untuk sekadar merayakan hari cerah dan
hangat di Wisconsin. Kartu ucapan terima kasih yang
ditulisnya sendiri tiba di kotak pos setiap kali ia
dan ayahku berkunjung ke rumahku, mengingatkanku
betapa istimewanya aku baginya.
Tapi ritual yang paling berkesan adalah genggamannya
pada tanganku saat aku masih kecil dan berkata, “Kalau
sakit, remaslah tangan Ibu dan akan kukatakan aku
sayang kamu.”
Suatu pagi, saat aku berusia akhir 30-an, setelah
orangtuaku berkunjung pada malam sebelumnya, ayahku
meneleponku di kantor. Ia selalu berwibawa dan jernih
saat memberi nasehat, tapi aku mendengar rasa bingung
dan panik dalam suaranya. “Mary, ibumu sakit dan aku
tak tahu harus berbuat apa. Cepatlah datang kemari.”
Perjalanan mobil 10 menit ke rumah orangtuaku diiringi
oleh rasa takut, bertanya-tanya apa yang terjadi pada
ibuku. Saat aku tiba, Ayah sedang mondar-mandir di
dapur sementara Ibu berbaring di tempat tidur. Matanya
terpejam dan tangannya berada di atas perut. Aku
memanggilnya, mencoba menjaga agar suaraku setenang
mungkin. “Bu, aku sudah datang.”
“Mary?”
“Iya, Bu.”
“Mary, kaukah itu?”
“Iya, Bu, ini aku.”
Aku tak siap untuk pertanyaan berikutnya, dan saat aku
mendengarnya, aku membeku, tak tahu harus berkata apa.
“Mary, apakah Ibu akan mati?”
Air mata menggenang dalam diriku saat aku memandang
ibuku tercinta terbaring di situ tak berdaya.
Pikiranku melayang, sampai pertanyaan itu terlintas
dalam benakku: ‘Jika keadaannya terbalik, apa yang
akan dikatakan Ibu padaku?’
Aku berdiam sejenak yang terasa seperti jutaan tahun,
menunggu kata-kata itu tiba di bibirku. “Bu, aku tak
tahu apakah Ibu akan mati, tapi kalau memang perlu,
tak apa-apa. Aku menyayangimu. “
Ia berseru, “Mary, rasanya sakit sekali.”
Lagi-lagi, aku bingung hendak berkata apa. Aku duduk
di sampingnya di tempat tidur, meraih tangannya dan
mendengar diriku berkata, “Bu, kalau Ibu sakit,
remaslah tanganku, nanti akan kukatakan, aku sayang
padamu.”
Ia meremas tanganku.
“Bu, aku sayang padamu.”
Banyak remasan tangan dan kata “aku sayang padamu”
yang terlontar antara aku dan ibuku selama dua tahun
berikutnya, sampai ia meninggal akibat kanker indung
telur.
Kita tak pernah tahu kapan ajal kita tiba, tapi aku
tahu bahwa pada saat itu, bersama siapa pun, aku akan
menawarkan ritual kasih ibuku yang manis setiap kali,
“Kalau sakit, remaslah tanganku, dan akan kukatakan,
aku sayang padamu.”

Catatan :
Salah satu cara untuk mengungkapkan rasa kasih sayang
pada orang yang anda cintai adalah dengan memegang
dan meremas tangannya dengan lembut Tindakan itu
kadangkala mengandung makna dan arti yang teramat
dalam yang hanya dapat dipahami antara anda dan orang
yang anda cintai…… …….


By : janti ( Soulful )

0 komentar: