20.10

Bulan : Sabit Untuk Purnama atau Purnama Untuk Sabit?

Tadi sore sore saya bermain dengan keponakan saya yang cakep, cute dan manis. Dia sedang digendong engkongnya, namun menangis karena ingin minum ASI, dan ibunya baru selesai mandi. Untuk menghiburnya, saya pun berjingkrak-jingkrak dengan gaya Mr. Bean—meskipun tidak mirip, ya… dimirip-miripkan saja, hehehe. Mengherankan memang, keponakan saya yang baru genap berusia lima bulan itu—sedang lucu-lucunya, bisa sedang menangis langsung tertawa terbahak-bahak. Begitu saya berhenti beraksi maka tangisnya kembali mengaum (hmm… memangnya harimau? Maksudnya tangisnya meledak…). Namun begitu saya beraksi lagi, ia pun dalam sepersekian detik kembali tertawa terpingkal-pingkal. Mulut mungilnya yang belum ditumbuhi gigi terbuka lebar mengeluarkan tawanya yang menggemaskan. Saya hampir tidak menemukan jeda antara tangis dan tawanya. Sungguh indah Allah menciptakan makhluknya yang bernama manusia. Tidak ada beda baginya antara tangis dan tawa.
Yang membuat saya terharu ketika itu adalah pada saat saya menghibur keponakan tersayangku itu saya dalam posisi hanya memakai handuk dan kaos singlet (seperti hendak mandi saja)… dan tatkala saya sudah cukup lama berjingkrak-jingkrak seperti Mr. Bean sedang kehabisan obat, ternyata sesuatu di luar dugaan terjadi… Apa itu?

[Iklan lewat… teman saya sedang foto-foto di dekat benda-benda antik, tiba-tiba ada orang tajir lewat… Beli…! Beli…! Beli!!! Teman saya akhirnya mau dibeli…]

***


Hmm… apa yang terjadi di luar dugaan itu? Apa ya kira-kira…?

Ternyata ketika saya berjingkrak pada hentakan terakhir, terjadi kemelorotan handuk yang saya pakai alias handuk saya melorot… [ha..ha..ha.. jangan pada ngeres donk, karena adegan ini disensor alias tangan saya segera menyelamatkan diri]. Yang terjadi selanjutnya adalah tidak saja tawa si kecil yang meledak, tapi juga tawa ayah dan ibu saya. Yah, ibu saya juga tertawa, apalagi saya, hehehe… dan si kecil seolah tahu ada yang ganjil terjadi di hadapannya. Demikianlah, untuk membuat orang yang kita sayangi tersenyum atau tertawa, ada saja yang kita lakukan, hingga ibu pun ikut tertawa.

Bicara tentang ibu yang tertawa, jadi teringat ibu saya yang baru beberapa hari ini pulang dari rumah sakit, dan ingatanku pun masih segar ketika lima malam saya harus ikut menginap di rumah sakit, tidur di sebelah ranjang ibu hanya beralaskan tikar… demi ibu. Masih segar dalam ingatan, betapa besar jasa ibu dalam menjaga kita hingga dewasa dan ketika ibu membutuhkan penjagaan kita, semua jasa kita tidak akan sanggup membalas jasa ibu. Ibu adalah orang yang paling berjasa bagi kita—yang menjadi perantara keberadaan kita di dunia, maka sudah sepantasnyalah kita berbakti sebisanya, semampu kita, selagi beliau masih ada di sisi kita atau selagi kita masih diberi kesempatan menghirup oksigen dengan leluasa.

Di sini saya tidak akan membahas tentang berbakti kepada ibu atau orang tua, namun ada hal lain yang menarik hati dan pikiran saya. Bermula ketika malam itu, malam Minggu, saya sedang sendiri menunggui ibu di rumah sakit. Teringat saya akan seorang sahabat yang hampir sebulan lalu bertemu. Malam itu saya berkirim sms dengan beliau. Beliau adalah penulis novel berjudul “Kepribadian Alina”. Siapakan dia? Dia tidak asing lagi karena kami pernah berfoto bersama dan fotonya juga ada di sini. Beliau adalah senior saya dan saya pun merasa harus banyak belajar darinya.


Kami berkirim sms, menanyakan kabar, karya terbaru, sejarah masa lalu hingga sekarang bisa menulis buku, dan lain-lain. Dalam lelah dan kantuk, hingga saya tertidur… dan pesan terakhirnyalah yang akan saya bahas pada tulisan ini. Pesan yang mengingatkan saya pada banyak sahabat saya. Pesan yang mengingatkan saya pada perjalanan hidup ini; pada proses demi proses yang harus kita lewati untuk menjadi seorang manusia dewasa—dalam pengertian dewasa tidak hanya umur dan fisik, tapi juga jiwa atau kebijaksanaannya

0 komentar: