19.46

Menumbuhkan Semangat Juara

Di kesempatan ini saya kembali mencoba menjawab pertanyaan lain yang masuk. Mohon maaf sekali lagi bagi sahabat yang pertanyaannya belum juga saya jawab. Pertanyaan kali ini datang dari pembaca buku saya, “Born To Be A Champion”, yang menanyakan beberapa hal sebagai berikut…

***

Assalamu’alaikum…

Saya ucapkan selamat untuk Mas Agus atas diterbitkannya buku perdana Mas Agus.
Saya kasih nilai 9 dech untuk bukunya. Bagus Mas…! Setelah saya baca bukunya, saya jadi merenung, tersadar bahwa selama ini saya terkadang kurang bersyukur dengan apa yang sudah Allah kasih ke saya. Saya sering mengeluh jika apa yang saya inginkan tidak kesampaian atau tidak sesuai dengan yang saya inginkan.

Saya mau tanya:
1. “Born To Be A Champion” mungkin tepat untuk Mas Agus, karena Mas Agus dilahirkan sebagai orang cerdas. Mas Agus bisa dengan mudah mendapat juara kelas, juara pidato, juara cerdas cermat, murid teladan, sukses di karier, cita-cita tercapai dan sebagainya. Mas Agus dikaruniai otak yang cerdas dari Tuhan sejak lahir. Bagaimana dengan orang yang dilahirkan dengan isi otak yang pas-pasan, biasa, lumayan? Mereka tidak punya “prestasi” apa pun? Bagaimana menumbuhkan semangat juara untuk mereka?

2. Saya terkadang suka pesimis dengan diri sendiri, apa saya bisa ya melakukan itu? Apa saya bisa ya mengerjakan ini? Saya sangat ingin meyakinkan diri saya sendiri untuk PD, kalau orang lain bisa kenapa saya nggak? Kadang ketika rasa PD sudah muncul, tiba-tiba hilang lagi.

3. Bagaimana menemukan bakat dan talenta kita? Saya sampai sekarang nggak tahu apa sich bakat atau talenta yang saya miliki. Saya suka hal yang berkaitan dengan teknologi, saya senang berteman dengan banyak orang; menurut Mas Agus apakah itu bakat atau talenta saya?? Apakah bakat atau talenta yang kita punya bisa menentukan jenis pekerjaan yang cocok untuk kita?? Apakah kita perlu meminta bantuan orang lain untuk mengetahui bakat atau talenta kita, karena biasanya kita nggak tahu apa yang menjadi kebiasaan kita, tapi malah orang lain yang tahu tingkah laku atau kebiasaan kita?
Segitu dulu dech pertanyaan saya, kalau lain waktu saya pengin sharing lagi, boleh kan Mas…?

Terima kasih Mas Agus… Sukses…!

Ditunggu buku berikutnya…!



Wassalamu’alaikum…

Dari U – di kota P

***

Pertama kali membaca email Mba U, saya merasa terharu. Terima kasih atas apresiasinya yang semakin menambah rasa syukur saya. Senada dengan apa yang disampaikan oleh sahabat pembaca saya di Surabaya, Semarang, Medan dan lainnya melalui sms, email, maupun comment di blog ini. Ada dari mereka yang sampai berkata, “Saya sampai merinding membaca buku anda… (dan seterusnya)”, padahal salah seorang mentor saya berpesan, “Karya kita yang sekarang adalah yang terbaik untuk saat ini, walaupun lima atau sepuluh tahun yang akan datang kita akan menertawakannya.” Jadi, meskipun masih jauh dari sempurna, saya harus bersyukur karena baru sampai seperti itulah kemampuan saya dalam berkarya. Yang terpenting, saya harus terus belajar dan meningkatkan kemampuan diri saya sehingga karya saya yang selanjutnya lebih baik dari yang ada sekarang. So, jangan pernah terlena ketika pujian datang…


Jika apa yang saya tulis bermanfaat bagi yang membacanya, semoga itu semua menjadi amal jariyah bagi saya dan jika ada pahalanya, semoga mengalir juga ke kedua orangtua dan guru-guru saya.

***

Menjawab pertanyaan pertama, ini koq saya dikatakan “dilahirkan sebagai orang cerdas” segala… (tersenyum, terharu). Ini ada yang memuji… cewek pula, hehehe… Saya jadi terbang, membentur langit-langit rumah, gedebuk… jatuh lagi (kepala benjol terbentur benda keras di atas…). Terima kasih juga telah menyebut prestasi-prestasi saya yang hampir terlupakan karena itu tidaklah ada apa-apanya, namun harus disyukuri betul-betul. Hmm, tahu dari mana? [Curiga sepertinya cewek yang satu ini pernah satu sekolah dengan saya…]. Hehehe… kapan-kapan kita reuni yuk… Terima kasih sudah mau membaca tulisan saya yang tanpa makna.


Sukses di karier… Alhamdulillah berkat doa anda, meskipun saya belum merasa sukses…, dan saya juga masih dalam taraf belajar, dan saya merasa selalu harus bersyukur apa pun pekerjaan saya saat ini adalah sebagai rangkaian proses pembelajaran yang harus saya lewati karena saya akan terus belajar meskipun ketika itu bangku sekolah telah saya tinggalkan. Sekali lagi terima kasih tak terhingga, ini juga merupakan doa yang amat mulia, karena seperti yang lain—saya juga tentu punya tujuan hidup dan ingin meraih kesuksesan di sisa umur saya ini agar bisa memperoleh ridha dan ampunan Allah SWT.

Cita-cita tercapai… Amin! Semoga pembaca yang budiman dan para malaikat juga meng-amini-nya. Alhamdulillah, masih ada orang baik yang mau mendoakan saya dengan begitu indahnya.

Saya mulai menjawab ya…

Sebenarnya saya terlahir sama dengan anak-anak yang lain, juga seperti anda. Saya pikir tidak otomatis cerdas. Ketika saya mengikuti tes IQ, ternyata IQ saya biasa-biasa saja tuh. Tidak jenius, juga tidak idiot seperti…[Hehehe… mendengar kata “idiot”, beberapa teman di sebelah saya langsung melotot, seperti curiga tangan saya akan menunjuk salah satu dari mereka].

Mungkin saya bisa cerita seperti ini. Saya terlahir sebagai anak pertama di sebuah keluarga yang sangat sederhana. Masa kecil saya adalah masa-masa yang penuh keprihatinan. Orangtua saya menyekolahkan dengan susah payah. Saya tidak akan menceritakan detailnya di sini, karena jika ibu saya tahu, mungkin beliau jadi sedih. Pendek kata, masa kecil saya tidaklah sebahagia seperti anda semua. [Bagi yang terlahir di tengah keluarga berkecukupan, semua ada, dan sekolah pun diantar mobil—semoga lebih bersyukur lagi].

Walaupun demikian, saya sejak kecil berusaha (berharap mendapat hidayah dari-Nya) untuk menjadi anak yang baik (menurut saya), seperti rajin shalat dan mengaji, rajin membantu ibu bersih-bersih rumah, cuci piring dan sebagainya, rajin puasa Senin – Kamis, rajin belajar dan kebiasaan-kebiasaan yang mencerminkan bahwa saya ini anak prihatin dari keluarga yang serba kekurangan, namun ingin memiliki masa depan yang lebih baik. Jika saya mengenang perjuangan orang tua–terutama ibu–dalam menyekolahkan saya, maka saya harus rela menitikkan air mata karena sampai sekarang saya belum bisa membalas pengorbanan mereka yang tiada terkira (saya pikir tidak akan pernah bisa membalasnya hingga impas). Meskipun demikian, saya bersyukur menjadi anak mereka karena saya haqqul yakin rizki yang orangtua saya peroleh untuk menafkahi hidup saya dan adik-adik itu 100% halal, sehingga darah yang mengalir di pembuluh nadi dan vena saya adalah darah yang bersih dari barang haram. Orangtua saya sangat jujur dan qona’ah (menerima) apa yang dikaruniakan Allah untuk mereka. Dan untuk ibu, maka saya berhak menjulukinya “ibu terbaik sedunia”, paling tidak bagi saya—anaknya.

Melihat kenyatan di atas, maka ketika itu hanya ada satu cara bagi saya untuk bisa membahagiakan mereka, yakni dengan menjadi anak yang “baik”. Baik di sini adalah dengan cara berprestasi di sekolah, karena hanya itu yang bisa saya lakukan saat itu. Maka ketika itu saya harus rela menjadi kutu buku dan menjadi pelajar sejati yang memiliki motto “tiada hari tanpa belajar”. Saya benar-benar fokus di dunia pendidikan yang sedang saya tempuh di mana prestasi yang paling diakui adalah prestasi akademik. Hasilnya adalah pengalaman belajar di mana saya pernah menjadi bintang kelas 27 kali—sempurna sejak kelas 1 SD hingga kelas 3 SMP hingga menjadi Pelajar Teladan yang mewakili kabupaten bertempur di tingkat propinsi. Pernah ketika seorang guru SMP saya datang ke rumah, beliau hampir tidak percaya dengan keadaan / latar belakang keluarga saya [kisah prestasi yang tiada bermakna, diceritakan semoga untuk bisa menyemangati saja... lha wong nggak punya cerita yang betul-betul menarik sich...].


Semua itu bukan begitu saja turun dari langit, namun melalui kerja keras dan perjuangan—tidak saja secara lahir, tapi juga batin. Dan saya merasa sangat bersyukur ketika menerima rapor atau pada acara perpisahan sekolah, saat-saat indah tatkala melihat ibu saya tersenyum bahagia karena bisa maju ke depan untuk menerima penghargaan atas prestasi yang saya dapatkan (ada kasih Tuhan saya rasakan di sana). Prestasi yang didapat karena tekad dan perjuangan keras, yang harapannya agar saya bisa sedikit mengobati segala lelah, kepenatan dan jerih payah yang mereka (kedua orangtua saya) pertaruhkan.

Jadi, istilah orang yang dilahirkan dengan otak yang pas-pasan, biasa atau lumayan mungkin sedikit kurang tepat, karena menjadikan otak cerdas juga ada prosesnya. Contohnya pisau, jika dirawat dan diasah secara teratur maka akan menjadi sebuah pisau yang tajam luar biasa, namun jika dibiarkan maka bisa dipastikan lama-lama akan tumpul, karatan dan akhirnya tidak bisa digunakan.

Jika anda mempercayai bahwa kemampuan otak anda hanya “pas-pasan” maka itulah yang akan jadi kenyataan. Namun jika mulai sekarang anda percaya bahwa kemampuan otak anda “luar biasa” maka itulah yang akan terjadi. Memang semua butuh perjuangan dan proses. Pertanyaannya: mau nggak kita menjalani prosesnya?

Dan yang harus diingat, yang namanya “prestasi” itu tidak hanya prestasi akademik saja, karena prestasi ini—menurut para ahli—hanya menentukan sekitar 20% saja dari kesuksesan seseorang. Masih banyak prestasi atau kecerdasan lain yang lebih penting untuk kita kuasai agar bisa menjadi “juara sejati” di kehidupan ini. Juara di sekolah formal belumlah ada apa-apanya. Perlu diingat bahwa realitas dunia nyata itu jauh berbeda dengan dunia sekolah yang kita tempuh sejak kecil hingga dewasa. Dan juara sejati adalah mereka yang bisa mengalahkan diri sendiri (hawa nafsunya) dan bisa mengenal dirinya, karena dengan mengenal dirinya maka ia akan dapat mengenal Tuhannya sehingga bisa menjadikan hidupnya sebagai ladang amal shaleh dan perjuangan demi sebuah pengabdian mulia untuk kemaslahatan bersama. Ingat selalu sabda Rasulullah Saw yang artinya, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya bagi manusia lain”. Dari sini semoga tumbuh semangat juara bagi anda yang merasa otaknya “pas-pasan”.

***

Untuk jawaban pertanyaan kedua, silahkan anda baca artikel sebelumnya berjudul, “Kiat Efektif Menjadi PeDe dan Pandai Berbicara”. Sedangkan untuk pertanyaan terakhir, insya Allah akan dijawab untuk artikel edisi selanjutnya.

Maaf ya, ini saya bicaranya seperti orang pinter saja… padahal nggak ada apa-apanya, hehehe… (itu sepertinya gaya persuasif). Sampai-sampai Kang Arif lupa bahwa bulan ini lagi banyak-banyaknya kondangan ya.:-) Bukan bermaksud menggurui, lho… karena saya yang pantasnya digurui, hehehe… Jika sharing kita kali ini kurang bemutu, semoga saya diberi feed back agar bisa saling belajar.


Sebagai penutup artikel ini, marilah kita renungkan do’a Nabi Ibrahim yang diabadikan Allah dalam Al Qur’an surat Al Mumtahanah ayat 4 yang artinya, “Ya Tuhan kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali.

0 komentar: